“Usaha pemberantasan penyakit masyarakat atau pekat di Sumatra Barat nampaknya kembali terhambat. Bagaimana usaha membasmi pekat bisa berhasil kalau pekat itu sendiri, seperti judi dan penayangan maksiat tidak disekat, akar sumber pemicu timbulnya penyakit masyarakat itu justru dibiarkan dengan suburnya. Ibarat penyakit jadilah semakin tenat hingga sekarat. “
Circus dan Hiburan Malam yang sudah dihujat di kota Payakumbuh beberapa waktu lalu sedang memancangkan dan menancapkan tiang maksiatnya di Padang, kota tercinta yang kujaga dan kubela, Circus itu jelas-jelas menayang maksiat dan memajang usaha-usaha judi secara terang-terangan diberi peluang bebas. Katanya memberantas pekat tapi maksiat semakin tenat. Berantas judi tapi judi dilegalkan. Berantas maksiat tapi hiburan mengumbar aurat ditayangkan, dibiarkan menodai ranah syariat. Ibarat menaruh kotoran ke wajah Padang, apa tidak berang? Jangan heran jika masyarakat tidak lagi terperanjat kalau pergaulan bebas sudah jadi tabiat.
Memanglah mereka, pengusaha hiburan dan Circus itu juga menjalankan usaha, itu kita sudah maklum. Namun setidaknya diseleksi mana saja usaha dan hiburan yang diperbolehkan tidak memicu penyakit masyarakat. Mana yang berunsur judi apalagi secara terang-terangan dan unsur maksiat tidak diluluskan. Adanya akrobat dengan pakaian bikini serba ketat bahkan mengumbar aurat apa tidak menyuburkan maksiat? Kemana aparat yang selama ini memberantas pekat? Atau jangan-jangan justru penggiat? Apa kerja para pejabat yang selalu berorasi hebat dan bergaya seolah menjaga martabat. Apa karena ada subsidi atau membayar sewa tempat, lantas dengan bebasnya mengadakan usaha khurafat dan menyebabkan penyakit masyarakat semakin tenat?
Apakah pemberantasan penyakit masyarakat hanya untuk memikat rakyat? Ranah basandi syara’ (syariat) yang pernah menyandang predikat sebagai penggiat asmaul husna terbanyak versi Muri, akan kehilangan martabat? Marilah kita bertaubat dan hindari maksiat. Jangan sampai terperanjat kalau Tuhan kemudian melaknat, dengan menghancurkan tempat ibadat, yang di tempat lain justru utuh dan luput dari bencana tapi di Sumata Barat malah justru yang menanggung akibat.
Lantas siapa yang akan diharapkan menjaga martabat Sumatra Barat dari maksiat. Mana para pejuang demo yang suka berunjuk rasa memperjuangkan hak masyarakat? Apakah akan tinggal diam melihat gelagat yang merusakkan moral masyarakat.
Masalah dan penyakit masyarakat ini tidak akan tuntas kalau hanya pucuk permasalahan saja yang diberantas. Usaha memberantas penyakit masyarakat terbukti susah dan menemui jalan buntu. Apatah lagi kalau hal-hal yang menyuburkan dan memicunya, seperti hiburan maksiat justru dibiarkan merajalela. Usaha menayang dan menjajakannya justru dipromosikan dan dipampang besar-besaran. Moral tabiat yang sudah berkarat, menjadi bertambah tenat. Kalau tidak bertobat, hingga datang sekarat, alamat menderita sepanjang hayat hingga ke akhirat. Nauzubillah, para ulama dan pejabat setempat akan menanggung akibat.